Admin Al-Furqan
Admin Al-Furqan
Online
Tabe'👋
sempat ada yang bisa dibantu?

Esai: Menggali Multikulturalisme dalam Pendidikan Islam: Tafsir atas Ayat-Ayat Kesadaran

 

OLEH: 

**Prof. Muhammad Yusuf, M. Pd.I (Guru Besar UIN Alauddin Makassar dan Wakil Ketua YAPIQ STAI Al-Furqan Makassar)


Ada yang abadi dalam teks. Seperti Q.S. al-Maidah: 48, Hud: 118, dan al-Hujurat: 13. Teks yang memuat nafas keabadian dalam keberagaman, seolah ia menari bersama rahasia waktu. Kita menghidupi mereka, mengunyah maknanya, dan mencoba memahami dunia melalui cermin kata-katanya. Dalam konteks pendidikan Islam, ayat-ayat ini menjadi lebih dari sekadar bacaan; ia adalah jalan menuju jembatan, menuju kemungkinan.


Pendidikan Islam berdiri di tengah lanskap yang selalu riuh. Suku, agama, bahasa, budaya—semua itu ada di depan pintu, mengetuk-ngetuk dengan irama yang kadang lembut, kadang menggema. Islam, yang hadir di tengah semesta multikultural, tidak hanya merangkul; ia mendorong kita untuk berjalan di atas tali yang rentan. Tali ini mengajarkan keseimbangan: antara menerima perbedaan dan menjaga nilai.


Q.S. al-Maidah: 48, misalnya, bicara dengan lembut, tapi pasti. Ia menyentuh inti keberagaman agama. "Kami telah menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran," kata ayat itu, "untuk membenarkan kitab sebelumnya dan sebagai penjaga." Ia meminta kita menghargai keberagaman, tanpa memaksakan kebenaran kita kepada orang lain. Ada kebijaksanaan di sana, mengingatkan kita bahwa perbedaan adalah panggilan untuk berbuat adil.


Di sisi lain, Q.S. Hud: 118 berbicara dengan nada yang lebih mendalam, hampir melankolis. "Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia satu umat," demikian katanya. Namun, tidak. Tuhan memilih keberagaman. Ada yang ilahi dalam perbedaan. Sebuah misteri yang mengundang kita untuk merenung, bukan menghakimi.


Dan al-Hujurat: 13, seperti embun pagi yang sejuk. "Wahai manusia," ia menyeru, "Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal." Pesannya jelas: perbedaan adalah untuk saling mengenal, bukan untuk memecah belah. Ia mengandung janji persaudaraan yang tidak mengenal batas.


Namun, mari kita lihat kenyataan. Ada celah yang lebar antara pesan dan praktik. Pendidikan Islam, yang seharusnya menjadi ladang subur bagi nilai-nilai ini, kadang terseok-seok oleh berbagai masalah. Yang pertama, tentu, adalah pemahaman yang dangkal. Banyak yang tahu ayat-ayat ini, namun tidak benar-benar mendalaminya. Nilai multikulturalisme seperti bayang-bayang: ada, tapi tidak selalu nyata.


Lalu, kurikulum. Bagaimana nilai-nilai ini masuk ke dalam buku pelajaran? Masuk, mungkin, tapi sering kali kehilangan ruhnya. Teks-teks Al-Quran bicara dengan indah, tapi implementasinya dalam pendidikan sering kali kaku, bahkan terabaikan. Tantangannya adalah mengubah nilai-nilai itu menjadi sesuatu yang hidup, yang bisa dirasakan oleh siswa.


Dan penafsiran, ah, selalu menjadi soal yang tak kunjung selesai. Setiap kata, setiap ayat, memiliki lapisan makna yang berbeda-beda. Ada yang membaca Q.S. al-Maidah: 48 dengan lensa sempit, melihatnya sebagai pembenaran untuk eksklusivitas. Ada pula yang memahaminya sebagai ajakan untuk merayakan perbedaan. Tafsir, dalam hal ini, adalah pisau bermata dua.


Tidak cukup sampai di situ. Lingkungan sosial kita sering kali menjadi tembok penghalang. Polarisasi, stereotip, prasangka—semua itu membuat nilai multikulturalisme seperti api kecil yang hampir padam. Dalam suasana yang terpecah, nilai keberagaman menjadi sulit untuk dipraktikkan. Ayat-ayat yang mengajarkan toleransi seakan kehilangan suara.


Namun, harapan selalu ada. Kita tahu, Islam mengajarkan penghormatan terhadap keberagaman, dan pendidikan adalah kuncinya. Dari ruang kelas hingga ruang keluarga, nilai-nilai multikultural ini harus dirawat. Kita perlu menghidupkan kembali semangat ayat-ayat ini, menjadikannya kompas dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis.


Pada akhirnya, tafsir bukan sekadar upaya memahami teks. Ia adalah dialog, tarian antara masa lalu dan masa kini. Dan mungkin, melalui pendidikan Islam, kita bisa menjadikan nilai-nilai ini bukan hanya bagian dari kata-kata, tetapi juga bagian dari hidup. Saling mengenal, saling menghargai, dan bersama-sama berjalan di bawah naungan langit yang satu.


Bersambung. (Nantikan Lanjutannya)


~~~

©STAI AL-FURQAN INFO 

Tim Penyunting: Lembaga IT dan Multimedia STAI Al-Furqan 

Penulis: Prof. Muhammad Yusuf, M. Pd.I

Berbagi

Posting Komentar